Politik Pencitraan: Pembodohan Publik, Merobek Tenun Demokrasi

Publik menilai bahwa fenomena politik pencitraan untuk meraih kekuasaan yang berkembang belakangan ini, khususnya di pemilukada, bukanlah hal baru.
Fenomena semacam itu sudah terjadi sebelumnya di beberapa ajang pemilukada dan di Pilpres 2014 lalu. Tetapi, apa yang terjadi di pemilukada Jilid I 2015 dan Jilid II 2017 beberapa waktu lalu, sudah semakin menguat.
Sebagaimana diketahui, fenomena ini memang bukan isapan jempol belaka. Sebab, kalau melihat dari kasus-kasus yang terjadi, mulai dari iklan politik di media cetak, elektronik, kemunculan baliho, spanduk-spanduk, pamflet, stiker, kalender yang cenderung narsis dan eksis berisi pencitraan politik belaka, dan seterusnya, menjadi bukti nyata menguatnya fenomena itu.
“Politik pencitraan_Pencitraan Politik” para figur calon bukan barang baru. Di Pilpres 2009, 2014 juga kentara tentang hal itu. Cuma Pemilukada Jilid I dan II makin menguat politisasinya. Penyebab utama dari kemunculan “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” itu karena faktor identitas para figur calon yang selama ini memang dikenal dan diketahui masyarakat minim prestasi dan karya, dan ditambah lagi figur calon yang bersangkutan pernah terkena kasus korupsi dan penyelewenggan jabatan dan kekuasaan.
Selain penyebab utama, ada dua faktor penting lain yang turut memperkuat fenomena “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” tersebut, yakni para politisi yang dengan sengaja memainkan isu itu untuk meraih kekuasaan dan karena faktor rendahnya literasi media dari sebagian masyarakat.
Fenomenanya dua hal. Satu, ada politisi-politisi busuk yang memainkan isu yang kurang populis untuk meraup suara atau keuntungan politik. Mereka berselingkuh dengan para aktor politik praktis, provokator, komunitas, media cetak dan lain-lain. Kedua, memang ada sebagian masyarakat kita yang literasi medianya belum bagus; pendidikan politik yang minim, dan lain-lain. Jadi mereka gampang ‘kemakan’ “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” dan isu politik lainnya.
Dua faktor itu (politisi yang memainkan “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” mempolitisir isu, dan rendahnya literasi media). Sehingga ketika “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” dan politisasi isu ini dimainkan oleh para politisi tersebut, maka sebagian masyarakat yang notabene tak memiliki literasi media yang cukup, akan gampang terseret ke pusaran isu itu. Jadi, jika kesatu dan kedua ketemu momentum di Pilkada, di ibaratkan sumbu ketemu tutup.
Mengenai kemungkinan “Politik Pencitraan_Pencitraan Politik” dan politisasi isu di tengah-tengah masyarakat Sulawesi Tenggara jelang Pilgub Sultra 2018. ada dua kemungkinan, dalam arti kata bisa mempan atau bisa tidak sama sekali, tergantung terpaan informasi (literasi media) dan pendidikan politik dari sebagian masyarakat untuk menjadi pemilih rasional (rational voter). Walaupun disadari bahwa sebagian besar masyarakat wajib pilih di Sultra bisa dibilang kategori PEMILIH TRADISONAL.
Dibutuhkan kerja keras dan langkah konkrit untuk dapat merubah masyarakt wajib pilih dari pemilih Tradisional menjadi pemilih Rasional (cerdas voter) dengan terus menerus menyemai informasi dan membangun komunikasi kepada masyarakat pemilih agar mereka memahami dengan baik hak dan kewajiaban dalam berpolitk dn berdemokrasi dengan baik.
Patut disadarai, bahwa tidak semua pemilih itu rational voter dan preferensi politik itu multy factors. Jadi tergantung bagaimana pihak-pihak yang konsen dan peduli, dari pemerintah, media, ormas, kampus, sekolah, keluarga dalam mengcounter “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” dan politisasi isu itu. Harus disadari semuah pihak bahwa dengan “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” dan politisasi isu sangat berbahaya bagi budaya demokrasi yang ada di negeri ini.
Siapa Penikmat dan Korbannya?
Mengenai siapa yang menikmati dan menjadi korban dalam kasus fenomena dengan “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” dan politisasi isu, penikmatnya adalah figur calon yang tak berkualitas alias modal ambisi dan narsis semata dan korban paling nyata dari “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” dan politisasi isu itu adalah masyarakat dan figur calon yang layak dan berkualitas.
Bukan tanpa alasan, realitas membuktikan selama ini bahwa yang sering melakukan “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” dan politisasi isu adalah figur calon yang tak berkualitas yang hanya bermodalkan ambisi belaka tanpa karya dan prestasi yang nyata yang biasanya mendapat sokongan dan dukungan dari ormas-ormas abal abal, komunitas tertentu untuk menekan masyarakat dengan cara pembodohan dan kebohongan politik.
Fenomena “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” dan politisasi isu, masyarakat bisa mengambil dua hikmah penting. Pertama, public education khususnya media literacy. Karena “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” dan politisasi isu juga memanfaatkan hoax dan fitnah. Kedua, tantangan dalam berdemokrasi dan berpolitik yang baik, jujur, toleran, menjunjung tinggi keberagaman dan kebhinekaan.
Tidak hanya itu, fenomena “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” dan politisasi isu, figur calon berkualitas, sekalipun menjadi korban, pada akhirnya juga diuntungkan. Karena “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” dan politisasi isu akan menjadi bumerang bagi para figur calon yang melakukan hal tersebut dan tim suksesnya.
Implikasi paling nyata dari “Politik pencitraan_Pencitraan Politik” dan politisasi isu ini, terutama bagi demokrasi dan bangsa, yaitu pembodohan kepada masyarakat luas dan tentu saja akan merusak tatanan dan nilai-nilai demokrasi, kebragaman dan kebinekaan yang selama ini terajut dengan baik. Sejatinya figur calon pemimpin itu senantiasa menjadi negarawan dan bukan politisi rendahan yang menghalalkan segala cara karena ambisi berkuasa.