top of page

Efek Media Massa dan Perilaku Politik Khalayak

  • Apr 9, 2017
  • 6 min read

Salah satu aktor penting dalam demokrasi modern adalah media massa. Dalam masyarakat yang mayoritas menggunakan media sebagai alat untuk mendapatkan informasi, agenda setting media berpengaruh kuat. Masyarakat menentukan pilihan maupun keputusan politiknya berdasarkan informasi yang diperolehnya melalui media.


Disadari atau tidak oleh para pengguna media, agenda setting media untuk bidang politik mengarahkan pemikiran dan sikap politik si-pengguna media tersebut (McCombs dan Shaw; 1991:17-26). Kondisi ini mengantar media massa sebagai sumber yang dominan tidak saja bagi individu tetapi juga bagi masyarakat dalam memperoleh gambaran dan citra realitas sosial.


Asumsi ini didukung oleh berbagai teori tentang hubungan media dan khalayak diantaranya, Stimulus-Respon, Agenda Setting, The Spiral of Silence, Cultivation dan lain-lain. Teori-teori ini secara umum menjelaskan bahwa, apabila media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka ia akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Pada perspektif ini, media tidak menentukan what to think, tetapi what to think about.

Nilai penting media massa (seperti radio, surat kabar, majalah, dan televisi) yang paling nyata adalah, kemampuannya dalam menjangkau jumlah audiens yang tidak terbatas. Perkembangan media massa, menurut J. Keane, dalam bukunya, The Media and Democracy (1991), selalu beriringan dengan aspirasi demokrasi dan perjuangan untuk meraih kekuasaan politik.


Media massa telah menjadi fokus dari kompleksitas aktivitas politik yang terbaru. Demokrasi tradisional yang sebelumnya terfokus pada masifikasi, berganti pada fragmentasi. Dengan situasi yang tak kalah rumit dan dinamisnya ini, media dan politik akan terus berkembang menuju situasi yang saling terikat satu sama lain.

Meskipun penggunaan media dalam proses komunikasi dan bentuk-bentuk komunikasi seperti agitasi, propaganda, public relations dan kampanye, tidak secara langsung menimbulkan prilaku tertentu, namun cenderung mempengaruhi cara manusia mengorganisasikan citra politiknya dan membangun opini bagi publik.


Hal itulah yang akan mempengaruhi cara manusia berpendapat (beropini) dan berprilaku. Mcluhan (1964) menyebut bahwa media adalah perluasan alat indra manusia. Pandangan Mcluhan tersebut dikenal sebagai teori perpanjangan alat indra (sense extension theory). Media massa datang menyampaikan pesan yang aneka ragam dan aktual tentang lingkungan sosial dan politik.


Surat kabar sebagai media cetak misalnya menjadi medium untuk mengetahui berbagai peristiwa politik yang aktual yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Demikian juga radio dan televisi sebagai media elektronik menjadi sebuah sarana untuk mengikuti berbagai kejadian politik yang sedang terjadi atau baru saja terjadi yang jauh dari jangkauan panca-indra. Malah Mcluhan menyebut bahwa berkat media massa, terutama televisi, dunia menjadi desa jagat dari pengalaman pengalaman yang disampaikan seketika dan dirasakan secara bersama-sama.

Dukungan dari media atas suatu aktivitas politik tidak hanya didasarkan pada asumsi besarnya suatu peristiwa politik, namun juga nilai politik dari peristiwa tersebut. Nilai politik ini terutama berkaitan dengan kepentingan media sendiri, dan kepentingan masyarakat, sebagai konsumen atau publik dari media tersebut.


Suatu peristiwa politik akan sangat mungkin ditanggapi dengan cara yang berbeda oleh berbagai media, antara lain pada peletakan berita (utama atau biasa), volume berita dan teknik–kecenderungan pemberitaan, di mana isi media mengenai peristiwa tersebut sangat mungkin mendapat tanggapan yang berbeda oleh khalayak media yang berbeda.


Aspek penting dari media massa selain faktor pesan adalah kemampuan media dalam membentuk opini publik. Adanya opini publik dengan snowball effect sangat mungkin mendorong sikap dan priiaku atas suatu issu politik tertentu.

Menurut Chaffe, media massa merupakan sumber informasi politik yang penting, bukan sekedar pelengkap komunikasi interpersonal, tetapi mendukung pertumbuhan politik seseorang atau sebuah intitusi, walaupun pada akhirnya yang menentukan apakah media berpengaruh atau tidak adalah pengguna media itu sendiri .


Sementara menurut Keller (dalam Czudnowski, 1983), setiap orang bisa menjadi terkenal dalam waktu 15 menit, khususnya di televisi. Selain mendongkrak popularitas, media massa juga menjadi sumber utama informasi dan stimulasi makna politik. Sementara menurut Harsono, sejumlah aspek yang membuat media massa penting dalam kehidupan politik adalah:


1) Daya jangkauannya yang sangat luas dalam menyebarluaskan informasi politik; yang mampu melewati batas wilayah (geografis), dan kelompok umur, jenis kelamin, status sosial-ekonomi (demografis), serta perbedaan paham dan orientasi (psikografis). Sehingga suatu masalah politik yang dimediasikan menjadi perhatian bersama di berbagai tempat dan kalangan.


2) Kemampuannya melipatgandakan pesan yang luar biasa. Suatu peristiwa politik bisa dilipatgandakan pemberitaannya sesuai dengan jumlah ekslempar koran, tabloid, majalah yang tercetak; juga bisa diulang-ulang penyiarannya sesuai dengan kebutuhan.


3) Setiap media bisa mewacanakan sebuah peristiwa politik sesuai pandangannya masing-masing. Kebijakan redaksional yang dimilikinya menentukan penampilan isi peristiwa politik yang diberitakan.


4) Dengan fungsi agenda setting yang dimilikinya, media memiliki kesempatan yang sangat luas (bahkan hampir tanpa batas) untuk memberitakan sebuah peristiwa politik, sesuai dengan kebijakannya masing-masing. Setiap peristiwa politik dapat disiarkan atau tidak disiarkan. Yang jelas, belum tentu berita politik yang menjadi agenda media merupakan agenda publik.


5) Pemberitaan peristiwa politik oleh suatu media lazimnya berkaitan dengan media lainnya hingga membentuk rantai informasi. Hal ini menambah kekuatan tersendiri pada penyebaran informasi politik dan dampaknya terhadap publik.

Dalam fenomena politik mutakhir, Deddy N Hidayat menganggap bahwa, pers telah menjelma menjadi media driven politics. Dalam arti, setiap momentum politik mustahil menafikan kehadiran pers. Dalam fungsinya sebagai media politics driven, pers menjalankan fungsi penghubung antara elit politik dengan warga. Sebuah fungsi yang dulunya dominan dilakukan oleh partai ataupun kelompok-kelompok politik tertentu.


Dalam banyak hal, fungsi penghubung tersebut semakin banyak yang diambil alih pers. Proses memproduksi dan mereproduksi berbagai sumber daya politik, seperti menghimpun dan mempertahankan dukungan masyarakat dalam pemilu, memobilisasi dukungan publik terhadap suatu kebijakan, merekayasa citra kinerja sang kandidat, dan sebagainya, banyak dijembatani, atau bahkan dikemudikan oleh kepentingan dan kaidah-kaidah yang berlaku di pasar industri media (Deddy N Hidayat:2004).

Upaya elit politik membangun posisitioning lewat pers memang sah-sah saja dilakukan. Pertama karena fenomena massa mengambang belum sepenuhnya diselesaikan oleh elit politik. Akibatnya banyak elit politik yang berpaling ke media, karena media bisa "mendekatkan" mereka, sekaligus membangun citra tertentu seperti yang diinginkan ke tengah masyarakat. Kedua, dalam memperebutkan sumber daya politik, pers juga "dipakai", dalam arti dijadikan saluran kepentingan untuk memobilisasi opini.

Secara umum, media menjadi sangat penting karena berada tepat di tengah pusaran kelompok-kelompok kepentingan, juga penting sebagai alat pembentuk opini publik. Dalam komunikasi politik modern, media memegang peranan penting. Namun media tidak pernah bekerja (perform) dalam sebuah ruang kosong.

Terdapat berbagai model interaksi media dengan unsur-unsur lain dalam Komunikasi Politik. Beberapa model komunikasi yang menghubungkan media dengan elemen-elemen komunikasi politik. Dapat dipahami bahwa McNair menganggap Media sebagai sentral dari elemen-elemen komunikasi politik—semacam gatekeeper bagi seluruh pesan politik. Semua komunikasi politik dianggap mediated. Di berbagai negara maju—dimana media menjangkau semua lapisan masyarakat.

McQuail ini menggambarkan bahwa media sangat dipengaruhi oleh tujuan utama media itu sendiri. Tujuan utama media yang telah teridentifikasi adalah;


(1) memberikan profit kepada para pemodal—baik pemilik maupun pemegang saham,

(2) ‘tujuan ideal’ yang bersifat kultural, sosial maupun politik,

(3) memaksimalkan dan memuaskan audiens, dan

(4) memaksimalkan pemasukan iklan.


Tujuan-tujuan tersebut sering bertolak-belakang dan jarang sekali terjadi keselarasan penuh di antara keempatnya. Diakui pula bahwa ada empat faktor eksternal yang berarti bahwa ada work culture dan tujuan-tujuan lain dari media, khususnya mereka yang berorientasi manajemen atau laba, berorientasi teknis atau skill (craft), atau mereka yang mengutamakan tujuan-tujuan komunikasi.

Unsur Media dipengaruhi pula oleh unsur-unsur komunikasi politik lainnya, yaitu oleh institusi pemerintahan, civil society dan market. Kondisi ideal yang diharapkan oleh komunikasi politik adalah terciptanya keseimbangan antara keempat unsur tersebut.


Dengan kata lain, tidak ada unsur yang dominan di antara keempatnya. Dalam model Segitiga Gazali, Media mestinya tepat berada di tengah, tidak bergeser ke sudut salah satu unsur. Ketika ada salah satu unsur mendominasi unsur yang lain, maka kualitas komunikasi politik akan berkurang—yang pada gilirannya akan merugikan semua unsur komunikasi politik itu sendiri.

Komunikasi Politik tidak selamanya mediated. Ada juga saluran komunikasi politik yang secara langsung menghubungkan market (pemilik modal, advertiser, klien), government (pemerintahan) dan masyarakat. Meski pun demikian, tetap menempatkan Media sebagai gatekeeper ataupun channel yang penting dalam komunikasi politik karena kemampuan media dalam meng-amplify efek sebuah pesan politik.

Menurut Habermas, pada awalnya media dibentuk untuk menjadi bagian dari public sphere, tetapi kemudian dikomersilkan – menjadi komoditi yang didistribusikan secara massal serta ”menjual khalayak massa” demi kepentingan perusahaan periklanan.


Kondisi ini pada gilirannya menjauhkan media dari perannya semula sebagai public sphere”. Memang, konsep public sphere ini dinilai oleh Boyd-Barret memiliki beberapa kelemahan, di antaranya adalah perhatian Habermas yang berlebihan pada berita politik serta berlebihannya Habermas dalam membesar-besarkan kecurangan yang muncul karena komersialisasi media massa di abad 19 dan abad 20-an.

Terlepas dari kekurangannya tersebut, beberapa ‘tuntutan’ dari konsep public sphere cukup baik untuk menempatkan fungsi media dengan tepat di antara unsur komunikasi politik lainnya.


Berdasarkan konsep “public sphere yang disempurnakan”, McNair memberikan lima fungsi media dalam masyarakat demokratis yang ideal;

1) fungsi monitoring: memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang sedang berlangsung dalam masyarakat itu;

2) fungsi mendidik (educate): memberikan kejujuran atas makna dan signifikansi dari fakta-fakta yang terjadi. Jurnalis harus menjaga obyektifitasnya karena value yang mereka miliki sebagai ‘pendidik’ tergantung pada bagaimana mereka memilih isu/wacana yang dipublikasikannya;

3) memberikan platform terhadap diskursus politik publik, memfasilitasi/mengakomodir pembentukan opini publik dan mengembalikan opini itu kepada publik, termasuk di dalamnya memberikan tempat kepada berbagai pendapat yang saling berlawanan, tanpa mengurangi nilai-nilai demokrasi;

4) fungsi watchdog: memublikasikan institusi politik dan institusi pemerintahan, menciptakan keterbukaan (transparansi) pada institusi-institusi publik tersebut, dan;

5) fungsi advocacy: menjadi channel untuk advokasi politik. politisi dan partai, contohnya, membutuhkan ‘alat’ untuk mengartikulasikan kebijakan dan program mereka kepada khalayak, dan karenanya media mesti terbuka kepada semua politisi dan partai.


Dari sekian banyak media massa yang dapat memediasi kegiatan politik, yang dianggap paling efektif adalah televisi. Fenomena inilah yang kemudian memunculkan istilah tele-politics. Tele-politics adalah sebuah fenomena baru yang menandai bergesernya peran partai politik dan munculnya dominasi media massa—terutama televisi—dalam menjangkau pemilih.


Televisi muncul sebagai kekuatan yang lebih masif dalam menyampaikan informasi politik kepada masyarakat. Data survei menunjukkan bahwa masyarakat di Indonesia paling banyak mendapatkan informasi politik melalui televisi (87%). Berbeda dengan pertemuan-pertemuan politik konvensional yang mensyaratkan kehadiran seseorang, interaksi melalui televisi lebih bersifat one-way traffic communication, lebih praktis dan tidak merepotkan pemilih.


Sekian. Semoga Bermanfaat. [if !supportLineBreakNewLine] [endif]

 
 
 

Comments


Sulawesi Tenggara, Indonesia

  • Facebook
  • Twitter
  • LinkedIn

©2017 by Sultra Bersatu

bottom of page