Kepala Daerah dan Tindak Pidana Korupsi

Dewasa ini, korupsi bukan lagi kasus pidana langka. Korupsi kini telah menjadi suatu kasus, bahkan telah membudaya dan menjadi penyakit ganas yang diderita oleh masyarakat Indonesia. Korupsi sejatinya tak hanya dilakukan oleh para birokrat kelas atas. Tetapi, korupsi dewasa ini juga kian marak dilakukan oleh para kepala daerah di Indonesia.
Integritas raja-raja kecil daerah perlu kembali dipertanyakan. Tanda tanya tentang integritas raja-raja kecil daerah yang patut kembali dipertanyakan tersebut tak lain karena maraknya korupsi yang telah dilakukan oleh klan mereka. Data dan informasi menunjukan, sejak Februari 2013 sampai 2016 tercatat sebanyak 460 kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia melakukan tindak pidana korupsi. Tak hanya itu, kasus yang akhir-akhir ini mencuat di media massa (2017) tentang status tersangka Gubernur Sultra Nur Alam, serta Bupati Buton tak pelak telah menambah penuh sesak daftar kepala daerah Indonesia yang melakukan tindak pidana korupsi.
Kasus korupsi oleh kepala daerah kian hari kian membuat rakyat menggeleng-gelengkan kepala. Betapa tidak, kepala daerah yang pada awal melakukan kampanye persuasif agar ia dipilih sebagai pengemban amanah, kini telah memukul rakyat dan menodai janji sucinya selama kampanye.
Tak ada asap jika tak ada api. Segala kasus yang mencuat tentang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sejatinya memiliki celah ledakan. Celah ledakan tersebut adalah faktor-faktor penyebab mengapa korupsi oleh kepala daerah dapat dilakukan. Faktor tersebut secara global sejatinya disebabkan oleh efek dari sistem yang dipakai pada masa kini, khususnya sistem pemilu.
Dalam pemilu, calon kepala daerah melakukan kampanye yang memerlukan dana besar. Dana besar yang diperlukan pada masa pemilu tersebut sejatinya melahirkan suatu hal yang menganut hukum aksi - reaksi, yaitu balik modal. Balik modal adalah eksekusi dimana calon kepala daerah juga akan melaksanakan strategi feedback akan dana yang digunakannya pada masa kampanye.
Lalu darimana feedback tersebut didapatkan? Feedback tersebut tentunya tak hanya didapatkan dari gajinya selama menjadi kepala daerah yang bekisaran hanya 5-8 juta per-bulan. Adapun kepala daerah yang mengambil dana feedback tersebut dari proyek yang ditandatanganinya selama menjadi kepala daerah, seperti yang dilakukan oleh beberapa kepala daerah diatas.
Lalu mengapa feedback tersebut dapat terjadi? Feedback terjadi karena terciptanya suatu sistem desentralisasi yaitu otonomi daerah yang dilegalkan oleh UU No.32 Tahun 2004, dimana kekuasaan penguasa daerah tercipta lebih luas serta berkesempatan cukup untuk menggelembungkan anggaran, dsb.
Sejatinya sistem otonomi daerah merupakan sistem yang baik dikarenakan potensi setiap daerah adalah berbeda. Namun, pengawasan diselenggarakannya sistem otonomi daerahlah yang kurang mendarah daging pada DPRD sehingga penyelewengan dapat terjadi.
Selain itu, seperti di awal, feedback juga ditimbulkan oleh dana besar yang diperlukan selama kampanye. Dana besar tersebut sejatinya dapat dikontrol dengan diterbitkannya regulasi-regulasi DPR yang mengatur tentang dana minimum kampanye seorang kepala daerah guna meminimalisasi celah dilakukannya tindak pidana korupsi.
Disamping itu, untuk meminimalisasi tindak pidana korupsi calon kepala daerah kelak, KPU, Panwaslu dan KPK setidaknya harus bekerja ekstra melakukan program-program pencegahan tindak pidana korupsi pada saat pelaksanaan kampanye. Hal tersebut dapat diimplementasikan dengan mengaudit segala kekayaan seluruh calon kepala daerah yang dapat dimulai sejak mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah guna sigap mengidentifikasi jika terjadi kecurangan.
Korupsi sejatinya terjadi karena adanya kesempatan. Jika sistem yang ada tak lagi menjadi jalur yang mulus, maka kita sebagai rakyat Indonesia seharusnya dapat menjadi subyek kontrol sosial yang tegas bagi sistem.
Warning...!!! Telisik, teliti, pilah, pilih dengan baik Jejak Rekam calon pemimpin agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Dukung dan pilih pemimpinbersih, bebas dari kasus Korupsi dan penyelewengan jabatan dan kekuasaan baik dahulu maupun sekarang ini.