Politik Pencitraan. Politik Baliho: Antara Pendidikan Politik dan Pembodohan Massa

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. Sistem demokrasi menjamin adanya kebebasan untuk berekspresi, berserikat, mendirikan organisasi dan menyampaikan pendapat di muka umum tentunya di bawah kendali hukum yang berlaku. Karena kebebasan dalam sistem demokrasi bukanlah bebas-sebebasnya untuk bertindak apa saja termasuk bebas teror dan melukai orang lain, melainkan kebebasan yang dikontrol oleh aturan (undang-undang).
Dengan diterapkannya sistem demokrasi mulai dari demokrasi parlementer, presidensil dan demokrasi pancasila. Di berikan kebebasan warga negara untuk berekspresi di berikan ruang sebebas-bebasnya. Pemerintah harus bersikap akomodatif atas kritikan dan saran yang di sampaikan warga negara sehingga tercipta pemerintahan yang baik dan bersih (good goverman and good governance.
A. Politik Pencitraan
Berbicara tentang politik bukanlah barang baru di negeri ini untuk dibicarakan, karena parade politik (cagub, sampai pemilihan kepala desa) hampir dilaksanakan setiap tahun dilaksanakan di masing-masing daerah yang berbeda oleh komisi pemilihan umum.
Masyarakat kita sebagian besar melek terhadap politik, karena setiap hari selalu ditampilkan oleh media massa baik elektronik maupun media cetak tentang politik. Misalnya saja anggota partai A loncat ke partai B karena tidak mengusungnya pada saat pencalonan, sehingga anggota partai tersebut mencari partai yang bisa mengusungnya untuk mencalonkan diri dalam bursa pemilukada.
Akses informasi yang mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan informasi yang merata. Artinya masyarakat kita dewasa ini secara tidak langsung mendapatkan pendidikan politik dari tayangan (tv) atau pemberitaan dari media cetak (koran, majalah) dan media online.
Akan tetapi menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, apakah masyarakat indonesia sudah benar-benar mendapatkan pendidikan politik secara menyeluruh dan menjadi peserta pemilu rasional dengan adanya media massa? Patut di telisik lebih mendalam.
Partai yang notabene memiliki fungsi dimana salah satunya adalah memberikan pendidikan politik terhadap rakyat. Malahan sebaliknya yang di dapatkan oleh rakyat adalah pembodohan melalui mobilisasi massa secara besar-besaran oleh partai dan kostruksi wacana oleh media dengan berbagai intrik.
Coba kita lihat secara obyektif apa yang ditampilkan media, media hanya menampilkan perilaku elit politik yang berkoar kesana-kemari dengan janji-janji yang sangat sulit untuk di percayai dan tak ada realisasinya. Dan upaya rasionalisasi elit parpol yang terindikasi korupsi dengan berbagai cara entah menyewa pengacara handal dan menggunakan kekuatan lain untuk menutupi kasusnya, dsb.
Bahkan Ada rumor yang berkembang ditengah masyarakat yang tidak asing di telinga kita. Ketika salah seorang calon kandidat legislatif sedang mengunjungi suatu desa terpencil, dia menyampaikan kepada masyarakat setempat dalam pidatonya bahwa, jika dia terpilih maka akan di bangun jalan dan jembatan.
Kemudian salah seorang warga mengangkat tangannya untuk bertanya, diapun bertanya kepada calon pemimpin tersebut bahwa di desa kami tidak ada sungai untuk di bangun jembatan, jadi tidak mungkin untuk membangun jembata.. Akan tetapi jawaban dari calon pemimpin bahwa jika tidak ada sungai maka saya akan membuat sungai sehingga bisa dibangun jembatan.
Yang nampak dalam praktek politik kita sekarang adalah politik pencitraan, dimana para elit penguasa mengangkat image sedemikian rupa menawannya sehingga masyarakat bisa memilihnya pada bursa pemilihan.
Politik pencitraan sebenarnya tidak akan merubah kondisi bangsa kita yang berada di tengah arus kemiskinan, pengangguran terjadi dimana-dimana, kajahatan, korupsi dll justru akan melahirkan suatu pemimpin dari para perompak, bandit-bandit, preman politik yang rakus akan kekuasaan. Karena para elit yang berada di kursi kekuasaan adalah orang-orang yang tidak memiliki kejelasan latar belakang, pengalaman dan jenjang pendidikan yang jelas. Sehingga inilah yang mengaburkan tujuan orang berpolitik. Setidaknya para elit memiliki frame politik atau ideologi yang dijadikan sebagai dasar bertindak untuk menentukan arah negara dengan disesuaikan dengan ideologinya tersebut.
Akan tetapi para elit kita terasa kabur dan remang-remang sehingga dalam pembuatan kebijakan orang seperti ini hanya bisa mengatakan setuju-setuju saja tanpa memiliki dasar alasan yang kuat mengapa memilih untuk setuju. Akan jadi seperti apakah negeri ini jika dipimpin oleh orang yang tidak memiliki orientasi yang jelas terhadap kemajuan bangsa.
Mereka maju menjadi pemimpin, tidak lain dan tidak bukan hanyalah hitungan untung rugi, mirip dengan para pengusaha yang secara sistematis menghitung berapa yang ia dapatkan (benefit). Atau kemungkinan besar rakyat akan dilihat sebagai produk yang menarik keuntungan untuk dijual. Walaupun kita menyadari bahwa semua orang memilliki hak, akan tetapi perlu juga hadap diri (intropeksi) teradap kemampuan untuk menjadi pemimpin.
B. Politik Baliho
Maraknya politik baliho ditengah masyarakat menambah citra politik semakin buruk, menjamurnya politisi tempe yang hadir secara tiba-tiba pada bursa pemilihan menjadi catatan tersendiri bagi bangsa ini. Apalagi ditengah masyarakat bergulir istilah politik adalah kotor karena apa yang rakyat lihat adalah sesuai dengan apa yang tampilkan oleh elit, misalnya terjadi money politik, black campaight, pembagian sembako dan mengumbar janji-janji palsu.
Adapaun pandangan dari rakyat melihat bahwa politik merupakan barang yang kotor (selalu berorientasi pada hasrat untuk mendapatkan kekuasaan), itu sah-sah saja oleh karena realitasnya demikian tidak bisa juga disalahkan secara serta merta oleh karena adanya pandangan seperti itu. Itu bisa kita maklumi mengapa adanya ketidak percayaan bagi rakyat terhadap politisi kita, jika ditelusuri kembali para politisi kita hari ini akan semakin menguatkan pandangan masyarakat tersebut.
Dengan modal sekian juta untuk mencetak baliho dengan ukuran besar maupun kecil, sudah bisa menjadi politisi dinegeri ini walau tanpa melalui proses panjang entah di dunia akademik, organisasi maupun partai politik. Dan mereka hanyalah manusia instan yang mempunyai modal yang cukup banyak untuk membayar mesin politik (partai politik).
Sementara orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas itu tidak dipakai sama sekali bahkan di abaikan oleh karena tersendat di persoalan modal yang besar, karena demokrasi kita menuntut biaya yang cukup serius.
Disepanjang jalan raya di temukan baliho terpajang berjejeran dipinggir jalan, bahkan beberapa kandidat memasang ditempat yang sama dan hanya berjarak beberapa meter saja bahkan berdempetan satu sama lainnya.
Adapula mereka memasang photo dengan tokoh setempat, orang miskin, anak yatim, korban banjir dsb dalam spanduk komplit dengan tag line kandidat. Belum lagi dengan sebagian masyarakat cenderung tidak mengetahui siapa tokoh tersebut dan apa visi misi yang menjadi andalannya, rakyat akan melihat tampak para calon didalam baliho sesuai dengan selera masing-masing.
Entah karena calon bersama dengan tokoh agama, tokoh masyarakat tokoh adat, dsb atau karena dalam photonya kelihatan bagus sehingga pemilih mencoblosnya, tanpa berpikir panjang siapa dan bagaimana calon tersebut.