SULTRA BERSATU: Membangun Kesadaran Politik dan Demokrasi untuk Sultra Maju dan Sejahtera
DEMOKRASI adalah kata kunci dalam mewujudkan sistem kedaulatan rakyat. Demokrasi dan kesejahteraan rakyat tidak perlu dipertentangkan, karena demokrasi dan kesejahteraan rakyat dapat berjalan bersamaan dalam mencapai cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Membangun sistem demokrasi yang ideal adalah dengan membangun kesadaran politik masyarakat, mewujudkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan dan penegakan HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekuasaan politik yang diraih melalui proses demokrasi yang baik dapat menciptakan harmoni dalam mencapai kesejahteraan rakyat sebagai tujuan dari negara. Mencapai kekuasaan politik dengan segala cara merupakan dosa politik terbesar, karena rakyat hanya dijadikan objek kekusaan politik. Rakyat hendaknya sebagai subjek yang berproses dalam menentukan pilihan politik yang demokratis.
Mewujudkan demokrasi yang rasional adalah tujuan dari negara kesejahteraan yang diidamkan. Pelaksanaan demokrasi politik dengan cara-cara yang kurang demokratis dapat mencederai bangunan sistem politik yang sedang dibangun. Proses transisi demokrasi hendaknya terlaksana dengan benar, bukan dengan cara-cara yang di luar dari konteks demokrasi, seperti politik uang, intimidasi, pemanfaatan kekuasaan politik untuk tujuan melanggengkan kekuasaan, serta membohongi rakyat. Demokrasi bukan sekadar prosedural konstitusional, tetapi merupakan penyadaran politik rakyat yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyimpangan terhadap demokrasi sudah mulai dirasakan dalam proses pemilihan kepala daerah di masing-masing propinsi dan kabupaten di Indonesia. Indikasi politik uang, intimidasi, dan pemanfaatan birokrasi pemerintah, merupakan isu yang muncul hampir di tiap pemilihan kepala daerah di Indonesia. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai landasan pijak pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan semangat positif dalam mengimplementasikan tatanan demokrasi.
Demokrasi tidak hanya menempatkan rakyat sebagai objek tetapi juga merupakan subjek penentu dalam menentukan pilihan yang demokratis dan kelangsungan pemerintahan pada periode ke depan, pemahaman tersebut hampir hilang dalam tiap kompetisi dalam pemilihan kepala daerah. Demokrasi yang hanya bersifat prosedural akan berdampak pada demokrasi yang boros dan menciptakan konflik politik yang berkepanjangan. Dalam transisi demokrasi pembelajaran politik yang berkesimbungan sudah sepantasnya dilakukan oleh tiap individu, penyelenggara negara, dan para aktivis yang peduli terhadap tatanan demokrasi politik yang ideal. Jika tidak demokrasi dan kesejahteraan rakyat hanya sebatas mimpi dari sebuah negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi. Pemilih Rasional Pilkada adalah kompetisi dalam mencapai kekuasaan eksekutif dengan melibatkan rakyat secara langsung dalam menentukan pilihan pemimpin di daerah. Sejak ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004, pilkada langsung menjadi gebyar politik bagi para elite politik. Masyarakat pemilih banyak tidak rasional dalam menentukan pilihan politiknya, karena mendapatkan dana dari para kandidat yang berkompetisi dalam pilkada langsung. Ungkapan \'ambil uangnya, jangan pilih orangnya bukan merupakan pembelajaran politik yang baik bagi rakyat. Demokrasi melalui pilkada langsung bukan sumber rezeki bagi masyarakat pemilih. Jika money politic masih terus berlangsung akan menjadi bahaya laten bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia pada masa yang akan datang. Pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan politik sangat dibutuhkan bagi masyarakat pemilih sehingga menciptakan rasionalisasi pemilih dalam ajang pilkada di masing-masing daerah.
Pendidikan kewarganegaraan (civic education) dan pendidikan pemilih (voter education) merupakan sebuah kebutuhan dalam tiap momentum pemilihan kepala daerah, agar masyarakat bisa memahami dan mematuhi tata aturan yang berlaku, di samping juga memberikan pencerahan politik rakyat.
Masyarakat pemilih yang hanya menunggu guliran dana dari para calon pemimpin daerah adalah masyarakat yang belum sadar terhadap sikap dan perilaku politiknya. Demikian pula terhadap calon pemimpin daerah yang sedang dan akan berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah dapat memberikan kontribusi positif bagi keberlangsungan demokrasi, sesuai dengan etika politik. Bukan justru berperilaku politik yang menjauhi dari tatanan demokrasi yang sedang dibangun. Pilkada langsung dilaksanakan sebagai wujud nyata pelaksanaan demokrasi, dan mengajarkan masyarakat untuk melihat dan berpikir secara objektif terhadap fenomena politik di tingkat daerah. Sehingga, masyarakat tidak semata-mata terkooptasi pada pola pikir dan perilaku politik para elite politik yang berkompetisi dalam pilkada. Semarak pilkada langsung hendaknya dijadikan semarak program-program yang menyentuh kepentingan masyarakat luas, bukan semarak bagi-bagi uang dari para calon pemimpin daerah.
Asumsi bahwa money politic muncul pada tiap momentum pilkada langsung harus dilawan tiap individu yang memiliki kesadaran politik. Jika kondisi perpolitikan daerah tetap diwarnai money politic, politik hanya dikuasai oleh sekelompok oligarki daerah, dan kesejahteraan rakyat makin jauh dari harapan. Karena, politik kompensasi akan terus berlangsung, yang dilakukan oleh para calon penguasa politik di tingkat lokal. Pilkada langsung sebuah momentum untuk mencerdaskan dan menyadarkan perilaku politik masyarakat di daerah, bukan memindahkan konflik politik dari pusat ke daerah. Sikap kritis masyarakat pemilih terhadap para calon pemimpin di daerah merupakan masyarakat yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan demokrasi, dan kehidupan politik yang lebih beradab untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Kita berharap Pilgub Sultra 2018 dapat melahirkan pemimpin yang memiliki visi jelas, jujur, dan atas pilihan dari masyarakat yang cerdas, rasional, dan bertanggung jawab.