top of page

TRANSPARANSI UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI SULAWESI TENGGARA


Perwujudan pemerintahan yang baik (good governance) yang sasaran pokoknya adalah terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang: professional, berkepastian hukum, transparan, akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas KKN; peka dan tanggap terhadap segenap kepentingan dan aspirasi yang didasari etika, semangat pelayanan, dan pertanggungjawaban public; dan, integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara (Mustopadidjaja, 2003 :261).


Salah satu aktualisasi nilai dan prinsip-prinsip “GG” adalah Transparansi. Aparatur dan sistem manajemen publik harus mengembangkan keterbukaan dan sistem akuntabilitas. Bersikap terbuka dan bertanggungjawab untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik dimaksud, sehingga dapat menjadikan diri mereka sebagi panutan masyarakat; dan itu dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan tanggungjawab dan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara.


Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan dan kemitraan, selain: memerlukan keterbukaan birokrasi pemerintah; juga memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas mereka; memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperan serta dalam proses penyusunan peraturan kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan.


Pemberdayaan dan keterbukaan akan lebih mendorong; akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya, dan adanya keputusan-keputusan pembangunan yang benar-benar diarahkan sesuai prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta dilakukan secara riil dan adil sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat.


Prinsip Transparansi ini telah disepakati, sebagai salah dari 10 prinsip, dari Asosiasi Pemerintahan Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesai (APEKSI), dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI), yaitu: partisipasi, penegakan hukum, transparansi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efisiensi dan efektifitas, dan profesionalisme.


Transparansi adalah keterbukaan pemerintahan dalam membuat kebijakan-kebijakan, sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountabilility antara pemerintah dengan masyarakat. Ini akan menciptakan pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsive terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.


Keterbukaan pemerintahan merupakan syarat mutlak bagi suatu pemerintahan yang efisien. Keterbukaan mengandung makna bahwa setiap orang mengetahui proses pengambilan keputusan oleh pemerintah. dengan mengetahui memungkinkan masyarakat itu memikirkan dan pada akhirnya ikut memutus.


Ada tiga unsur utama keterbukaan pemerintah yang memungkinkan peran serta masyarakat: mengetahui proses pengambilan keputusan rancangan rencana (meeweten); memikirkan bersama pemerintah mengenai keputusan/rancangan rencana yang dilakukan pemerintah (meedenken); dan memutuskan bersama pemerintah (meebelissen).


Prinsip transparansi ini tidak hanya berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut keuangan. Keterbukaan pemerintah meliputi 5 (lima) hal:


[if !supportLists]1. Keterbukaan dalam hal Rapat-rapat.

Para birokrat mestilah terbuka dalam melaksanakan rapat-rapat yang penting bagi masyarakat. Keterbukaan dalam hal rapat ini memungkinkan para birokrat serius memikirkan hal-hal yang dirapatkan, dan masyarakat dapat memberikan pendapatnya pula.


[if !supportLists]2. Keterbukaan Informasi.

Keterbukaan informasi ini berhubungan dengan dokumen-dokumen yang perlu diketahui oleh masyarakat. Misalnya, informasi mengenai pelelangan atau penerimaan pegawai.


[if !supportLists]3. [endif]Keterbukaan prosedur.

Keterbukaan prosedur ini berhubungan dengan prosedur pengambilan keputusan maupun prosedur penyusunan rencana. Keterbukaan prosedur ini merupakan tindak pemerintahan yang bersifat publik. Misalnya, keterbukaan rencana pembebasan tanah, rencana pembangunan Mall atau rencana tata ruang.


[if !supportLists]4. Keterbukaan register.

Register merupakan kegiatan pemerintahan. Register berisi fakta hukum, seperti catatan sipil, buku tanah, dan lain-lain. Register seperti itu memiliki sifat terbuka, artinya siapa saja berhak mengetahui fakta hukum dalam register tersebut. Keterbukaan register merupakan bentuk informasi pemerintahan.


[if !supportLists]5. Keterbukaan menerima peran serta masyarakat.

Keterbukaan Peran serta ini terjadi bila: adanya tersedia suatu kesempatan bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya terhadap pokok-pokok kebijakan pemerintah; adanya kesempatan masyarakat melakukan diskusi dengan pemerintah dan perencana; dan adanya pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut. Peran serta merupakan hak untuk ikut memutus. Hal ini menjadi bentuk perlindungan hukum preventif. Peran serta ini dapat berupa pengajuan keberatan terhadap rancangan keputusan atau rencana pemerintah, dengar pendapat dengan pemerintah, dan lain-lain.


Menciptakan Pemerintah yang Baik dan Bersih di Sulawesi Tenggara

Pengalaman di daerah lain di Indonesia memperlihatkan bahwa pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government) merupakan faktor penting dalam sebuah proses pembangunan. 4 (empat) elemen penting dari pemerintahan yang baik dan bersih yaitu :

(1) accountability,

(2) transparancy,

(3) predictability, dan

(4) participation.


Empat elemen tersebut diatas untuk dapat mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih tidak mungkin melakukan pembangunan dengan baik.


Masalah good governance dapat menyebabkan krisis ekonomi, sosial dan politik. Bahkan kemudian meruyak kepada krisis kepercayaan publik yang amat parah. Menurut Wanandi (1998) krisis ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintah yang tidak berdasarkan hukum, kebijakan publik yang tidak transparan serta absennya akuntabilitas publik akhirnya menghambat pengembangan demokrasi dalam masyarakat.

Walaupun kesadaran good governance di Indonesia muncul relatif terlambat tetapi harus disikapi secara benar dan serius dalam menyongsong pembangunan masa depan terutama pada pemerintahan di daerah tertinggal - terbelakang di Indonesia .


Khusus bagi pemerintahan di daerah, ini menjadi lebih bermakna karena perubahan paradigma ini juga seiring dengan terjadinya perubahan paradigma pelaksanaan pemerintahan terutama dalam menyikapi pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berlangsung .


Pengertian Dasar Good and Clean Governance

Paling tidak ada empat kata yang harus menjadi perhatian kita kalau membicarakan good and clean governance, yaitu:


(1) good government,

(2) clean government,

(3) good governance, dan

(4) clean governance.


Dari empat pembagian tersebut dilihat bahwa yang menjadi perhatian adalah good (baik), clean (bersih), government (pemerintahan), dan governance (penyelenggara pemerintahan). Artinya paradigma yang hendak dikembangkan adalah pemerintahan yang baik dan bersih yang juga didukung oleh penyelenggara pemerintahan yang baik dan bersih.


Dengan demikian government lebih memberikan perhatian terhadap sistem, sedangkan governance lebih memberikan perhatian terhadap sumber daya manusia yang bekerja dalam sistem tersebut.


Tanpa menjaga keseimbangan terhadap dua hal ini akan muncul ketimpangan dalam praktek peyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya akan menimbulkan kehancuran terhadap sistem bernegara.


Tanpa membedakan secara tajam antara empat elemen penting tersebut, Wanandi (1998) memberikan pengertian sebagai berikut : “kekuasaan didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, segala kebijakan diambil secara transparan, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Kekuasaan juga harus didasarkan atas aspek kelembagaan dan bukan atas kehendak seseorang atau kelompok tertentu. Kekuasaan juga harus taat kepada prinsip bahwa semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata hukum”.


Sementaraa itu, Riswanda Imawan (2000) berpendapat bahwa clean government adalah satu bentuk atau struktur pemerintahan yang menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat serta menghindari terjadinya abuse of power. Untuk itu diperlukan (1) pemerintah yang dibentuk atas kehendak orang banyak, (2) struktur organisasi pemerintah yang tidak kompleks (lebih sederhana), (3) mekanisme politik yang menjamin hubungan konsultatif antara negara dan warga negara, dan (4) mekanisme saling mengontrol antar aktor-aktor di dalam infra maupun supra struktur politik.


Pengertian ini muncul karena dua thesis, pertama, kurangnya perhatian terhadap pemerintahan yang baik dan bersih telah mendorong terciptanya praktik monopoli, korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua, penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih merupakan bahagian yang sangat penting dari sebuah proses demokrasi. Karena hal ini menjadi syarat mutlak bagi pembangunan yang menyeluruh dan berimbang.


Meskipun upaya menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih telah dimulai sejak tahun 1970-an tetapi tidak mampu membawa perubahan dalam praktek penyelenggaran pemerintahan di Indonesia.


Keinginan menjadi good and clean governance ke dalam norma hukum baru dimulai setelah kita mengalami krisis pada tahun 1997 yang diikuti dengan kejatuhan rezim otoriter Orde Baru pada bulan Mei 1998. Upaya ini dapat dilihat dengan adanya Ketetapan MPR No. XI/ MPR/ 1998 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kemudian diikuti dengan pemberlakuan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenngaraan Negara yang Bersih dan (KKN) yang diikuti dengan empat Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana UU No. 28 yaitu PP No. 65/ 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, PP No. 66/ 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa, PP No. 67/ 1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa, dan PP No. 68/ 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Peyelenggaraan Negara.


Prinsip-prinsip Pemerintahan yang Baik dan Bersih


1. Akuntabilitas

Menurut penjelasan Pasal 3 angka 7 UU No. 28 Tahun 1999 akuntabilitas diartikan sebagai berikut : “adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.


Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa akuntabilitas pertanggungjawaban setiap proses dan hasil akhir penyelenggaraan negara. Menurut Willian C. Johnson (1998) pertanggungjawaban tersebut dapat dilakukan dalam berbagai sifat atau cara.


Pertama, bersifat internal-formal dilakukan dalam bentuk (1) executive control, (2) budget preparation and management, (3) rule-making procedures, (4) inspector general and auditors, (5) chief financial officers, dan (6) investigative commission.


Kedua, external-formal dilakukan dalam bentuk (1) legislative oversight, (2) budgetary review and enactment, (3) legislative rule-making, (4) legislative veto, (5) legislative investigation, (6) legislative casework, (7) legislative audits, (8) ratification and appointments, (9) judicial review and takeover, (10) intergovernmental controls, dan (11) electoral process.


Ketiga, external-informal dilakukan dalam bentuk (1) monitoring by interest/ clientele groups, (2) professional communities, (3) informational media, dan (4) freedom of information law.Keempat, internal-informal dilakukan dalam bentuk (1) professional standars, (2) ethical codes and values, dan (4) whistle-blowers.


Munculnya beberapa sifat atau cara dalam melakukan pertanggungjawaban karena ada anggapan bahwa satu sarana saja dirasakan tidak memadai untuk dapat mengenal secara pasti kegiatan yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Misalnya pendirian komisi Ombudsman adalah salah satu usaha untuk mewujudkan pertanggungjawaban pelaksanaan pemerintahan yang bersifat external-informal.


2. Transparans

Menurut penjelasan Pasal 3 angka 4 UU No. 28 tahun 1999 prinsip transparan diartikan sebagai berikut : “asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara”.


Dari pengertian tersebut terlihat bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi yang benar dan jujur tentang penyelenggaraan negara. Ini adalah peran serta masyarakat secara nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih.


Secara lebih jelas peran serta masayarakat ini ditentukan dalam PP No. 68 Tahun 1999. Dalam Pasal 2 ayat (1) dikatakan peran serta masyarakat untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk :


  1. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara;

  2. hak memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara;

  3. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggaraan negara.


Pengunaan hak dalam butir a, b dan c tersebut rakyat mendapat perlindungan hukum. Untuk itu semua, menurut ketentuan Pasal 3 dan 4 dalam mempergunakan hak tersebut rakyat berhak mempertanyakan langsung kepada instansi terkait atau komisi pemeriksa. Hal itu dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Penyampaian itu dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis.


Kalau dibandingkan dengan daerah lain yang telah lama memberikan perhatian terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, Sulawesi Tenggara masih agak tertinggal karena pada daerah tersebut akses informasi masyarakat (public access to information) terhadap penyelenggaraan pemerintahan di dukung dengan pemanfaatan ICT dalam menyemai informasi dan komunikasi pemerintahan kepada khalayak-masyarakat.


3. Partisipasi

Pengertian ini tidak ditemui dalam UU No. 28 Tahun 1999, tetapi kalau dipahami misi UU No. 22 Tahun 1999 maka partisipasi masyarakat adalah hal yang hendak diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.


Dengan agak ringkas Sukardi (2000) menterjemahkan partisipasi sebagai upaya pembangunan rasa keterlibatan masyarakat dalam berbagai proses yang dilakukan oleh pemerintah. Pendapat ini adalah upaya melibatkan masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan.


Dalam teori pengambilan keputusan semakin banyak partisipasi dalam proses kelahiran sebuah policy maka dukungan akan semakin luas terhadap kebijaksanaan tersebut (Dunn, 1997). Bahkan David Osborne dan Ted Gaebler (1996) menyatakan bahwa pemerintah sebaiknya berperan sebagai katalis. Hal ini dapat dipahami karena kecenderungan ke depan pemerintah yang mempunyai peranan terbatas dapat mempercepat pembangunan masyarakat.


4. Kepastian Hukum

Pengertian kepastian hukum dapat ditemui dalam Pasal 3 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 yang menyatakan : “adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap pelaksanaan penyelenggaraan negara”.


Prinsip keempat ini mengarahkan agar penyelenggara negara bekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku (taat asas). Kepatuhan terhadap norma hukum adalah bukti bahwa adanya keinginan untuk menegakkan supremasi hukum dalam penyelenggaraan negara. Adalah sesuatu yang tidak masuk akal kalau keinginan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih tidak didukung dengan penghormatan terhadap norma hukum yang telah disepakati sebagai kaedah landasan hukum. Oleh karena itu, kepastian hukum adalah prinsip yang harus dipelihara.


Otonomi Daerah dan Upaya Menciptakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih

Perubahan paradigma hubungan pusat dan daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 adalah merupakan upaya melakukan reformasi total penyelenggaraan negara di daerah.


Dampak reformasi total ini ditinjau dari segi politik ketatanegaraan membuktikan telah terjadi pergeseran paradigma dari pemerintahan yang bercorakhighly centralized menjadi pola yang lebih terdesentralisasi dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mewujudkan otonomi daerah secara lebih luas sesuai dengan karakter khas yang dimiliki daerah.


Hal ini dilakukan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat sesuai dengan potensi wilayahnya.


Perubahan yang dilakukan ini adalah untuk mewujudkan masyarakat madani dalam kehidupan berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memiliki nilai-nilai good governance atau behoorlijk bestuur (Koswara, 2000). Hal ini sangat diperlukan karena berkurangnya secara signifikan peranan pemerintah pusat di daerah terutama dalam melakukan pengawasan preventif.


Oleh karena itu, unsur-unsur pelaksanaan pemerintahan yang baik dan benar dapat memainkan peranan penting di daerah. Apalagi UU No. 22 Tahun 1999 secara terang mengatakan bahwa aspirasi rakyat akan menjadi roh pelaksanaan pemerintahan daerah.


Sehubungan dengan good governance dalam pelaksanaan otonomi daerah, ada tiga hal penting yang harus dilakukan di tingkat daerah.


Pertama, transparasi kebijakan.

Pendapat ini muncul karena pada era Orde Baru nafas birokrasi sebagai alat kekuasaan yang represif sangat menonjol. Perumusan kebijakan pembangunan dan pemerintahan yang cenderung elitis, tertutup, dan berbau nepotis. Oleh karena itu, dalam era otonomi daerah, kondisi ini diharapkan tidak muncul lagi karena perilaku penyelenggara negara harus mengedepankan terjadinya transparasi kebijakan publik (Hadimulyo 2000).


Kedua, partisipasi masyarakat.

Walaupun UU No. 22 Tahun 1999 memberikan peluang kepada DPRD untuk melakukan kontrol kepada eksekutif tapi hal itu dirasakan belum cukup karena adanya indikasi bahwa DPRD dan pihak eksekutif “bermain mata” dalam menyikapi kebijakan-kebijakan politik yang strategis di daerah.


Untuk mencegah ini diperlukan peranan yang optimal dari masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan. John Fenwick(1995) mengatakan bahwa dalam penataan pemerintahan daerah sudah waktunya diperlakukan prinsip the public as consumers. Hal ini dilakukan agar pemerintah lebih mengambil posisi sebagai fasilitator dan advokator kepentingan masyarakat.


Dalam pelaksanaan otonomi daerah prinsip ini sudah pada tempatnya dilaksanakan di daerah karena dari dulu masyarakat hanya dilibatkan secara terbatas dalam memanajemen pemerintahan dan pembangunan. Bahkan dalam waktu yang lama rakyat lebih banyak dijadikan sebagai objek pembangunan. Peranan masyarakat hanya sebatas retorika, kepentingan birokrasi lebih menonjol dan birokrasi berubah menjadi personifikasi sekelompok elit birokrat.


Tiga alasan meengedepankan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah untuk mewujudkan good governance.


Pertama, kualitas program akan meningkat karena dengan partisipasi masyarakat yang besar akan memberikan jaminan bahwa tidak ada kepentingan masyarakat yang tidak dipertimbangkan dalam proses penentuan kebijakan pemerintah.


Kedua, akan diperoleh legitimasi yang lebih besar karena dengan partisipasi masyarakat yang lebih besar maka rakyat akan mempunyai tanggung jawab terhadap kebijakan tersebut. Dan dukungan masyarakat akan menjadi lebih besar dalam pelaksanaan kebijakan pemerintahan.


Ketiga, partisipasi masyarakat merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan perkembangan intelektual dan moral masyarakat.


Yang pasti, membiasakan diri untuk memberikan akses informasi penyelenggaraan negara terhadap masyarakat. Kebiasaan instansi pemerintah tertutup terhadap pihak luar (terutama yang ingin menadapatkan informasi) harus segera dihilangkan.


Ketertutupan ini dapat menimbulkan rasa curiga yang berlebihan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Sikap arogan sudah tidak masanya lagi karena ini dapat menimbulkan sikap vis a vis antara masyarakat dengan jajaran penyelenggarapemerintahan di daerah. Dan, kalau ini berlanjut, ia akan menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah.


Untuk mewujudkan dan menumbuhkan etos good governance tersebut, harus dimulai dari sikap individu kepala daerah dan seluruh jajaran pemerintahannya. Pemimpin daerah sebagai kepala pemerintah di sini tidak hanya diterjemahkan sebagai eksekutif saja. Tetapi harus dilihat dalam pengertian yang lebih luas yaitu semua pihak yang memperoleh amanah dari rakyat seperti legislatif, yudikatif, dan bahkan termasuk kalangan masyarakat.

 

Sulawesi Tenggara, Indonesia

  • Facebook
  • Twitter
  • LinkedIn

©2017 by Sultra Bersatu

bottom of page