top of page

6 Tips Pemimpin yang Luar Biasa (_Pencerahan Jelang Pilgub Sultra 2018



Kata pemimpin mungkin sudah tidak asing lagi terdengar oleh telinga kita, juga dengan definisinya. Setiap orang memiliki definisinya sendiri tentang pemimpin. Pada hakikatnya, setiap manusia yang terlahir di bumi ini adalah seorang pemimpin. Namun, tidak selalu sang pemimpin itu identik dengan cakupan wilayah kepemimpinannya yang luas, misalnya gubernur. Setidaknya, minimal setiap orang menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Simak 6 cara menjadi sang pemimpin yang luar biasa berikut ini.


1. Pemimpin yang Visioner

Manusia sebagai sang pemimpin tentu memikul tanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya, seorang ayah bertanggung jawab atas keluarganya, seorang kepala desa bertanggung jawab atas warga di desanya, begitu pun dengan seorang camat, bupati, gubernur, wali kota, anggota MPR, anggota DPR, dan presiden bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Namun terlepas dari hal yang demikian, menjadi pemimpin bukanlah sekadar melaksanakan tugas, menggugurkan kewajiban, dan meneruskan tradisi warisan program kerja.


Sang pemimpin haruslah memiliki visi yang jelas agar dia bisa mengarahkan siapa pun yang dipimpinnya pada tujuan yang ingin diraihnya. Dengan demikian, dia akan lebih mudah untuk membuat dan melaksanakan program kerja yang jelas dengan berdasar pada visi yang dimiliki. Jangan sampai menjadi seorang pemimpin yang terpaksa dan ala kadarnya. Jangan sampai menjadi pemimpin yang rata-rata atau bahkan di bawah rata-rata. Berusahalah untuk menjadi pemimpin di atas rata-rata, sang pemimpin yang luar biasa dengan visi yang dimiliki. Namun, yang perlu diingat, visi yang termulia adalah mendapatkan ridha dan surga-Nya. Pemimpin yang seperti ini tidak pernah mengutamakan penilaian dari manusia dan pemimpin seperti ini bisa dinilai dari karya nyatanya yang menggebrak sekitarnya.



2. Pemimpin Dilarang Bersikap Otoriter

Pada hakikatnya, seorang pemimpin memiliki kewenangan dalam menjalankan visi dan program kerjanya, tetapi tidak berarti dia bisa berbuat dengan semena-mena serta menghalalkan dan memaksakan selalu kehendaknya. Dalam sebuah hadis sudah jelas disebutkan, “Aidz bin Amru r.a., ketika ia masuk kepada Ubaidillah bin Zijad, berkata, ‘Hai anakku, saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya sejahat-jahat pemerintah, yaitu yang kejam (otoriter), janganlah kau tergolong daripada mereka,’” (H.R. Bukhari dan Muslim).


Dari hadis tersebut, Rasulullah menyebutkan bahwa pemimpin yang paling jahat adalah pemimpin yang bersikap otoriter. Sebuah keharusan bagi pemimpin adalah bersedia untuk mendengarkan siapa pun yang dipimpinnya. Dalam bertindak, dia selalu memperhitungkan pendapat rakyat untuk menimbang baik dan buruknya. Justru jika dia bersikap otoriter, ini akan menghalangi kreativitas dan inovasi lain yang diberikan oleh rakyat. Bahkan, bisa mengakibatkan krisis kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Selain itu, bisa juga menimbulkan banyak konflik di seluruh penjuru daerah. Intinya, sang pemimpin memiliki garis batasan-batasan khusus antara kewenangan hakikatnya dan kewenangan yang melibatkan keputusan rakyat.



3. Pemimpin yang Siap Melayani Rakyat

Pemimpin adalah pelayan dari rakyat yang selalu siap sedia untuk memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan bersama. Jadi, dalam hal ini, posisi rakyat benar-benar sebagai tuan dan pemimpin memiliki kedudukan yang tidak lebih tinggi dari rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, perlu diingat oleh para pemimpin, apabila dalam menjalankan kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan bersama, rakyat berhak sewaktu-waktu memberhentikan pemimpinnya ini dan menuntut haknya untuk dilayani.

SSemua orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri


4. Pemimpin Tidak Boleh Membeda-bedakan Warna Kulit

Pemimpin yang baik adalah dia yang bisa bersikap universal, tidak membeda-bedakan, apalagi membedakan suku, ras, dan warna kulit. Di dalam Islam, ini adalah bentuk bahwa Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh yang ada di alam. Seperti halnya saat dakwah Rasulullah dahulu. Sebagai sang pemimpin, Rasulullah tidak pernah sekalipun membeda-bedakan warna kulit dan golongan. Oleh karena itu, pengikut Rasulullah pun terdiri dari berbagai golongan. Yang paling banyak diketahui adalah Bilal Ibn Rabbah, sahabat Rasulullah yang diceritakan memiliki kulit yang hitam legam. Namun, Rasulullah sangat menyayanginya dan keduanya menjadi partner yang baik.


Padahal, kebanyakan orang zaman dahulu sangat menerapkan sistem kasta atau tingkatan status sosial sehingga perlakuan antara golongan satu dan yang lainnya itu memiliki tingkatan pula (berbeda-beda), misalnya pada zaman Rasulullah, orang-orang berkulit hitam pada umumnya berperan sebagai budak. Namun, saat Rasulullah datang membawa visi dan ajaran yang benar, banyak sekali mengalami perubahan. Inilah salah satu peran pemimpin yang tidak membeda-bedakan suatu golongan. Kita tidak boleh meremehkan satu sama lain karena dasar paling penting dari konteks ini adalah adil dan mengayomi.



5. Pemimpin Harus Bisa Berlaku Adil dan Tidak Zalim

Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil, sedangkan orang yang paling dibenci Allah dan sangat jauh dari Allah adalah seorang pemimpin yang zalim,” (H.R. Turmudzi).


Dari hadis tersebut, telihat dengan jelas jika Rasulullah sangat menekankan bahwa sang pemimpin itu harus bersikap adil karena Allah akan menempatkan kedudukannya paling dekat dengan Allah. Hal ini pun berlaku sebaliknya untuk pemimpin yang zalim. Sungguh ini merupakan sebuah balasan yang adil pula dari Allah.


Salah satu contoh sang pemimpin yang tidak adil adalah dalam hal pemberlakuan hukum. Jika pemimpin memilah-milah memberi hukuman pada sebagian orang dengan sebagian yang lain (hukum yang tidak seimbang), padahal keduanya melakukan kesalahan yang sama, bisa dikatakan bahwa pemimpin itu telah berbuat zalim kepada rakyatnya. Keadilan seorang pemimpin pun bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Kebijakan itu menyengsarakan rakyat atau tidak dan sesuai dengan kebutuhan rakyat atau hanya kebutuhan pemimpin. Jadi, sang pemimpin harus bisa seimbang dan berlaku adil dalam membuat kebijakan dan peraturan.

Berlaku adil dan bijaksana


6. Pemimpin yang Tidak Bodoh

Pada zaman Rasulullah, banyak pemimpin yang bodoh. Namun, sebagian besar kebodohan mereka bersumber dari ketidaktahuan mereka. Berbeda dengan zaman sekarang, kebodohan para pemimpin disebabkan mereka pura-pura tidak tahu. Sepeninggal Rasulullah, masih banyak pemimpin yang melakukan kebodohan karena tidak berpedoman pada sikap kepemimpinan Rasulullah juga sunah-sunahnya. Bodohnya sang pemimpin dalam hal ini mencakup banyak hal. Yang pertama adalah bodoh dalam pemikirannya (kolot, tidak meng-upgrade wawasan, tidak intelek, dan pemikirannya gegabah). Yang kedua adalah bodoh dalam perkataannya (berbicara kasar, menyakiti, jorok, dan ceplas-ceplos). Yang ketiga adalah bodoh dalam sikapnya.



Kebodohan tersebut juga berakibat pada kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemimpin. Kebijakan tersebut ada yang bertipe kebijakan yang tidak rasional, tidak memikirkan dampak dan follow-up selanjutnya, tidak dalam jangka panjang, dan tidak memenuhi kesejahteraan bersama antara pemimpin dan rakyatnya. Dari sini pula jangan sampai rakyat memberikan penilaian bahwa pemimpinnya adalah orang yang malas berpikir.


Semoga PILGUB SULTRA 2018 dapat melahirkan pemimpin SULTRA yang berkualitas untuk SULTRA yang lebih maju dan berkembang di masa datang

 

Sulawesi Tenggara, Indonesia

  • Facebook
  • Twitter
  • LinkedIn

©2017 by Sultra Bersatu

bottom of page