Membangun Ruh Demokrasi dalam Pilkada Serentak 2018

Menjelang semarak pesta rakyat dalam upaya menyukseskan Pilkada Serentak Jilid III yang akan dilaksanakan pada tanggal 26 Juni 2018, banyak hal yang harus diantisipasi akan tidak terulang lagi kejadiannya seperti praktik-praktik kecurangan pada PILKADA SERENTAK Jilid I dan II seperti yang menghiasi. Dimulai dari kampanye hitam, KTP-el ganda, money politik, sembako politik dan adanya kongkalikong penyelenggara pilkada.
Bahkan kreativitas dalam kecurangan meningkat, tidak hanya dilakukan oleh para kontestan dan tim sukses, namun melibatkan oknum KPU daerah hingga pemerintah. Praktik seperti ini rupanya tak pernah lepas dari iklim demokrasi Indonesia.
Hampir setiap pesta rakyat digelar, kecurangan tersebut selalu terjadi. Modus yang masih sama, yakni semata-mata memenuhi kepuasaan semu dalam bentuk bagi-bagi kaos, uang dan sembako kepada warga yang bertujuan demi menyukseskan salah satu paslon. Sangat disayangkan karena tindakan tersebut melanggar asas pemilu dan etika demokrasi. Apalagi, di masa tenang sebelum pemilihan, masih terdapat tangan-tangan usil yang menyerang sesama calon.
Padahal seharusnya momen-momen ini menjadi bahan renungan dan pertimbangan rakyat untuk memilih pemimpin yang mampu menyelesaikan problem Indonesia, khususnya di daerah- wilayah peserta Pilkada Serentak 2018 nanti.
Tulisan singkat ini akan memaparkan bagaimana mewujudkan pesta rakyat yang berkualitas dan tetap menjunjung asas-asas pemilu untuk mewujudkan pilkada yang aman, damai, dan tentram. Harapannya agar pemilih baik pemula maupun dewasa tidak terjebak dengan berbagai macam praktik kecurangan, istilahnya kembali membangun ruh demokrasi melihat pemilu menjadi salah satu indikator prinsip-prinsip demokrasi.
Semua kalangan begitu mengidamkan pesta rakyat, yang diwarnai antusiasme warga untuk menggunakan hak pilih, tidak golput, dan tetap damai hingga penyelenggaraan pemilu usai. Terpenting, semua kalangan baik kontestan, tim sukses, penyelenggara pemilu dan masyarakat tetap memegang teguh asas pemilu LUBER JURDIL “Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia serta Jujur, Adil”.
Semarak politik menjelang pilkada, biasanya seakan menjadi sandiwara demokrasi yang tak kunjung usai. Isu SARA terus mengakar dalam setiap momen-momen sebelum pesta rakyat digelar. Maka mulailah bertebaran istilah yang mengarah pada kampanye hitam, sampai pada isu terkait pernyataan memilih atas dasar suku dan agama menghias jagat media negeri dan dipandang sebagai perbuatan yang nilai demokrasi. Anehnya fokus dan lokus atmosfer seperti ini terpusat hanya di Pilkada tingkat propinsi saja.
Jejak demokrasi
Apabila kembali kita memaknai jejak-jejak demokrasi, pemilu menjadi ajang pesta rakyat dan bentuk ekspresi negara penganut demokrasi. Sudah saatnya kita memutus berbagai macam penodaan demokrasi dan kembali mewujudkan konsolidasi demokrasi.
Berbagai macam kecaman, hujatan dan istilah tak layak mengenai upaya melemahkan eksistensi demokrasi harus diminimalisasi. Bentuk tuduhan terkait intoleran, mengancam Pancasila, dan memecah belah persatuan menjadi PR semua kalangan. Disusul isu hoax, money politics, black campaign yang ikut mewarnai riuh rendah pilkada menjadi momok terbesar bagi atmosfer demokrasi di negeri ini harus diperangi oleh semua.
Robert A. Dahl dalam bukunya "On Democracy" mengemukakkan karakteristik hakekat demokrasi salah satunya pemilihan yang bebas dan fair. Lalu, Profesor Mirriam Budiardjo memaparkan bahwa pemilu yang bebas menjadi ciri demokrasi konstutusional.
Hal ini menjadi patokan negara-negara demokrasi wajib menerapkan kebabasan dan sikap fair (tidak memihak, sportif dan adil) dalam pesta rakyat tahunan. Terutama bagi kelas-kelas menengah ke atas yang sudah membekali pendidikan demokrasi dan paham dinamika politik negeri sudah sepatutnya menghindari kecurangan dalam demokrasi. Berbeda dengan kalangan kelas bawah yang selalu tergiur akan rayuan semu menjelang pemilihan perlu dicerdaskan.
Salah satu tugas bersama untuk mewujudkan demokrasi substansial dalam rangka konsolidasi demokrasi adalah mengokohkan ruh demokrasi yang sempat melemah. Istilah ini mengindikasikan selama ini yang berjalan hanya pada tatanan demokrasi elektoral salah satunya terselenggaranya pemilu.
Namun pada tahap demokrasi substansial masih banyak kecacatan karena kecurangan dalam pemilu telah mendarah daging dan seolah-olah menjadi agenda rutin tahunan. Untuk mengembalikkan dan membangun ruh demokrasi dapat diawali dengan pagelaran pesta rakyat pilkada serentak secara bebas dan fair.
Hak pilih
Usahakan kita tidak golput. Karena satu suara warga sangat berharga dibanding seribu pemilih golput. Bahkan disebut sebagai pihak pecundang karena menjadi warga yang tidak ikut campur menentukan praktik politik dan pemerintahan beberapa tahun kedepan.
Berdasarkan data KPU, pada penyelenggaraan pilkada serentak Jilid I 2015, dan Jilid II tahun 2017 angka golput cukup tinggi sekitar 27,88 persen. Hal ini menandakan banyak warga yang kurang peduli akan pelaksanaan demokrasi.
Biasanya golput disebabkan akibat faktor kemalasan, akses ke TPS yang jauh, dan instruksi dari tokoh berpegaruh ormas tertentu. Mulai saat ini diharapkan masyarakat mengingat dan menimbang visi dan misi serta program kerja para pasangan calon. Buka pikiran dan mata hati Anda lalu mulai tentukan pilihan tepat demi kemajuan dan perbaikan daerah dan negeri ini di masa mendatang.
Hindari isu-isu SARA, fanatisme identitas dan rayuan-rayuan maut oknum anonim yang menyebarkan informasi palsu terkait paslon. Terpenting ingat untuk hadir dan menggunakan hak pilih pada tanggal 26 Juni 2018.
Berbagai macam kecurangan pada proses pelaksanaan sampai menjelang hari H Pilkada akan terus terjadi dan biasanya rakyat kelas bawah menjadi sasaran empuk para timses nakal. Serangan fajar menjadi momok terbesar pemilu yang bebas dan fair.
Paling parah apabila masih ada kampanye hitam seperti pembagian kupon gratis, embel-embel pelatihan gratis, dan tawaran uang yang menggiurkan. Sikap kita seharusnya tetap konsisten dan tidak mencoba memanfaatkan kesempatan dalam waktu yang sempit ini.
Tetaplah bersikap fair dan menjaga nilai-nilai dan etika pemilu. Pemilu atau disebut pesta rakyat berarti momen di mana rakyat berbahagia dan ikut terlibat dalam praktek demokrasi elektoral.
Maka sebisa mungkin hindari keburukan menjelang pemilihan dan pasca Pemilu. Terkadang pelaksanaan pilkada sering diwarnai dengan kegaduhan politik dan hukum akibat kasus pelanggaran hukum dan aturan main pilkada yang dilakukan oleh paslon dan atau tim sukses/pemenangan kepala daerah. Disusul dengan berbagai aksi yang mengatasnamakan identitas tertentu. Bahkan banyak survei yang terkadang ikut memperkeruh suasana sehingga menyebabkan persaingan yang sengit di kalangan kontestan dan berdampak pada pendukung paslon.
Harapannya setelah pelaksaan pemilu semua kembali pada kondisi aman, damai dan tentram serta semua sentimen identitas dan kalangan tertentu memudar.
Pelaksanaan Pilkada serentak Jilid III 2018 masih setahun lagi digelar. Masyarakat diharapkan untuk senantiasa mengkaji dan menelisik dengan baik balon kepala daerah yang akan maju bertarung. Pelajari dengan seksama semua visi-misi dan program kerja nyata para paslon nantinya.
Masyarakat adalah asset berharga bagi daerah dan republik ini, maka pilihlah pemimpin yang mampu menyelesaikan permasalahan di depan mata, bukan yang pandai berjargon atau menawarkan janji politik yang manis. Tapi pilihlah pemimpin yang siap kerja nyata dan siap membuat daerah dan Indonesia ini berharga di mata dunia.
Mari bersama.., sukseskan Pilkada Serentak 2018, khususnya PILGUB Sultra. Pilih pemimpin Berkualitas untuk kemajuan daerah dan Kesejahteraan Rakyat.